Suatu hari, saya dan seorang teman berjalan-jalan di
salah satu mall ternama di Surabaya. Saya kasih clue saja ya, mall ini berseri
1-5, hampir bisa ngalahin sinetron Tersanjung yang legendaris itu. Emang Rangga doang yang legendaris ? Helloww..
Oke skip.
Saya pergi
menemaninya karena dia memerlukan sepatu boots untuk menghangatkan kakinya di
luar rumah pada musim salju. Dia akan menghabiskan sisa tahun 2016 ini di suatu
negara bersalju selepas Lebaran nanti.
Setelah
menemukan sepasang sepatu boots yang cukup oke untuk wanita ; ringan, anti air,
dan dapet diskon 30%, kamipun memutuskan untuk mencari makanan. Pilihan kami
jatuhkan ke sebuah cafe makanan yang cukup kekinian. Dengan konsep pesta kebun
indoor dan disambangi alay dari berbagai macam tipe. Dari yang hijabers, model
Korea-Koreaan, sampai dengan tipikal anak metropolitan dengan baju sabrina. Ini
dia, pikir saya, Melting Pot nya para alay, tempat mereka hangout, selfie, bikin
vlog dan melakukan kegiatan alay lainnya. Tidak ada yang salah, ini hanya fase
menuju kedewasaan yang harus mereka lalui, sebagai generasi setelah era 90an.
Satu-satunya hal
yang salah adalah harga makanan yang disajikan. Mahal sekali. Sebotol air
mineral 600ml dihargai 15 ribu rupiah. Beneran sarang kapitalis. Tetapi sebagai
seorang PNS Kemenag, bagi saya haram hukumnya menolak makan di tempat yang
sudah dilabeli cap halal oleh MUI. Lagian dalam kesempatan ini teman saya yang
traktir kok. Jadi kenapa saya yang harus senewen.
“Its okey,
cheese is never fail”, kata teman saya setelah mendengar saya ngamuk-ngamuk
dengan harga makanannya. Setelah saya perhatikan, memang sebagian besar menu di cafe ini menggunakan keju sebagai elemen pelengkap
masakannya. Jadilah saya memesan waffle dengan topping sosis ayam dan keju
mozarella yang tampilan di fotonya cukup menggiurkan, sedangkan teman saya
memilih pancake mushroom mozarella. Minumnya es teh manis (Mbak-mbak waitressnya
mencatat sambil menaikkan alis). Lidah boleh western, tenggorokan tetap
Indonesia dong.
Tidak berapa
lama, makananpun datang. And the food is as seen on picture. Keren.
Kami makan
sambil mengobrolkan banyak hal. Tentang kehidupan dengan segala pahit manisnya,
permasalahan di tempat kerja, permasalahan di rumah (tanpa tangga, karena
kebetulan kami masih single), mobil, kucing, ayam, dan sebagainya dan
sebagainya. Dan begitulah kami mengobrol sambil makan, sampai saya menyadari
sesuatu.
Waffle dan
pancake yang kami pesan ukurannya cukup besar. Tetapi nampaknya bisa saya
habiskan semuanya. Sesuatu yang jarang terjadi untuk makanan sebesar itu.
Biasanya kalau nggak habis akan saya tinggal saja, atau mungkin saya bungkus
pake tissue (yaelah). Tapi kali ini tidak, saya ingin rasa keju itu ada terus
di lidah. Saya bilang pada teman saya
bahwa kayaknya dia benar. Keju tidak pernah gagal. Teman saya tertawa dan kami
mulai membahas keju.
Kami sepakat
bahwa kalimatnya benar, tetapi kami yakin bahwa kalimat tadi punya makna yang
lebih dalam. Kamipun merumuskan beberapa hal tentang keju yang mungkin bisa diteladani
semua orang. Kira-kira begini sih.
1.
Penampilan Bukan Segalanya
Keju punya penampilan
yang tidak ‘wah’, sepintas ia terlihat sangat simple. Kuning, dengan tekstur
halus, dan kadang berongga. Sesederhana itu. Maksud saya, ia tidak cantik dan
berwarna-warni seperti paprika yang terlihat segar dan menawan. Tetapi cita rasa keju yang lezat membuat penampilannya
jadi tidak penting lagi. Lagian, siapa sih yang mau makan waffle paprika?
2.
Memberi makna pada lingkungan di sekitarnya
Ketika diolah dengan
bahan makanan yang murah seperti singkong atau pisang, keju akan membuatnya
lebih lezat dan itu otomatis membuat harganya menjadi lebih mahal. Lain halnya
dengan bahan yang sudah mahal, seperti daging, roti atau kentang. Keju dapat
membuatnya menjadi lebih mahal lagi. Meskipun ia adalah elemen pendamping, keju
mampu menaikkan value makanan yang ‘didampinginya’.
3.
Kesempurnaan Tidak didapat secara instant.
Keju didapatkan
dengan cara memfermentasikan susu sapi. Proses ini butuh waktu yang tidak
singkat dan keahlian yang mumpuni. Tetapi keju membuktikan, bahwa usaha tidak
akan pernah mengkhianati hasil. Persis seperti kata JKT48. Ingat, saat itu saya
makan di cafe yang penuh dengan para alay. Jadi JKT48 masih relevan.
4.
Menginspirasi orang untuk ‘jump to the next
level’
Saya jadi tertarik
untuk makan glesjot. Sejenis keju berbahan susu kambing dari Norwegia. Teman
saya berkata bahwa mungkin saja saya bisa ikut seminar atau short course atau
yang paling keren, ambil S3 di Norwegia. Jadi selain dapat cum, dapat gelar dan
memenuhi BKD, saya bisa makan glesjot disana. Boleh juga sarannya, akademis
abis. Bisa dibilang, keju telah menginspirasi saya untuk selangkah lebih maju.
5.
Always bring The Happiness
Dengan keju mozarella
yang meleleh-leleh dari atas waffle, percakapan jadi terasa menyenangkan meski
topik bahasannya lumayan berat. Saya perhatikan, teman sayapun tampak sangat
menikmati makanannya disela-sela obrolan kami. Dan kami jadi lebih ceria
setelahnya.
Mungkin alasan itu
juga yang membuat cafe ini didatangi para alay. Mereka memilih melepaskan galau
dengan makanan nan lezat ini ketimbang fly pake cimeng. Tampaknya keju bisa
jadi alat kampanye yang positif dalam berperang melawan narkoba. Harganya juga
masih terjangkau saku pelajar.
Jadi itulah beberapa hal tentang keju yang
mungkin kelihatan sangat sepele, tetapi semestinya dapat diteladani manusia.
Seorang bijak pernah berkata bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini
merupakan sarana manusia untuk belajar. Dan tidak ada salahnya belajar dari hal
yang luput dari perhatian kita, seperti keju. Yang berpenampilan sederhana
namun bercita rasa tinggi, tidak pernah berhenti berproses demi meningkatkan
kualitasnya, dapat menambah value lingkungan di sekitarnya, dan keberadaanya
menyebarkan kebahagiaan.
So, ladies and gentlemen, this is one of theory
about cheese
Keju
tidak pernah gagal.